review buku Teori-teori kritis; Menantang Pandangan Utama Studi Politik Internasional-2

Eko Rudi Sudarto
Eko Rudi Sudarto
18 Min Read


Pendahuluan
Buku ini memuat pandangan-pandangan kritis tentang hubungan interasional dari para pemikir seperti; Theodor Adorno, Giorgio Agamben, Hannah Arendt, Alain Badiou, Jean Baudrillard, Simone De Beauvoir, Walter Benjamin, Roy Bhaskar, Pierre Bourdieu, Judith Butler, Gilles Deleuze, Jacques Derrida, Frantz Fanon, Michael Foucault, Sigmund Freud, Antonio Gramsci, Jurgen Habermas, G.W.F. Hegel, Marthin Heidegger, Immanuel Kant, Julia Kristeva, Emmanuel Levinas, Karl Marx, Juan-Luc Nancy, Friedrich Nietzche, Jaques Ranciere, Richard Rorty, Edward Said, Carl Schmitt, Gayatri Chakravority Spivak, Paul Virilio dan  Slovaj Zizek.
Pada review buku Teori-teori kritis; Menantang Pandangan Utama Studi Politik Internasional ini, dikupas pemikiran Pierre Bourdieu yang lahir pada 1 Agustus 1930 di Denguin, Prancis dan meninggal pada 23 Januari 2002 di Paris, Prancis. Bourdieu dikenal sebagai seorang intelektual publik yang lahir dari pengaruh pemikiran Emile Zola dan Jean-Paul Sartre. Konsep-konsep yang dikembangkannya amat berpengaruh di dalam analisis-analisis sosial maupun filsafat di abad 21. Sebelum meninggal, Bourdieu mengajar di lycée di Moulins (1955–58), University of Algiers (1958–60), University of Paris (1960–64), École des Hautes Études en Sciences Sociales (dari 1964), dan Collège de France (1982). Tema-tema bukunya berkisar kritik terhadap konsep sekaligus praktek ekonomi neoliberal, globalisasi, elitisme intelektual, dan televisi.
Pemikiran Pierre Bourdieu
Pandangan Pierre Bourdieu, seorang filsuf dan sosiolog merupakan salah satu  tokoh pemikir Perancis terhadap ilmu-ilmu sosial budaya adalah keberhasilannya membangun teori umum tentang praktik sosial. Karya-karyanya bersumber dan merupakan hasil pengolahan dari berbagai sumber daya intelektual semacam Marx, Durkheim, Weber, Saussure, Wittgenstein, Benveniste, dan dari rentangan pemikiran fenomenologi hingga strukturalisme bahkan ke filsafat analitis. Secara signifikan Bordieu berhasil menerapkan secara konsisten kerangka pemikiran, teori, dan metodenya pada semua subjek yang dia bahas. Bourdieu adalah sosiolog yang paling banyak dikutip sebagai acuan. Hal ini menarik juga untuk dijadikan acuan tentang pemikiran Bourdieu tentang hubungan internasional.
Bourdieu menyebut alirannya sendiri sebagai constructivist structuralism atau structuralist constructivism. Itu artinya ia masih mengaku diri seorang strukturalis, tetapi dalam pengertian yang berbeda dengan tradisi Saussurian atau Levi Straussian. Pemikiran Bourdieu terkait erat dengan perdebatan tentang struktur dan agensi. Perdebatan itu memusat pada peran pengaruh institusional dan struktural dalam membentuk masyarakat dan sebaliknya sejauh mana tindakan-tindakan dan inisiatif individual bermain dalam proses yang sama.
Dua perkakas konseptual yang layak diperdebatkan dalam karya Bourdieu adalah habitus dan arena. Kedua konsep ini didukung oleh sejumlah konsep antara lain: modal (capital), praktik sosial (pratique sociale), pertarungan (lutte), dan strategi.
1.         Praktik Sosial (pratique sociale)
Dalam upaya mengatasi oposisi klasik fenomenologi versus strukturalisme, Bourdieu menawarkan konsep praktik. Pada situasi tersebut Bourdieu memperlakukan kehidupan sosial sebagai suatu interaksi struktur, disposisi (kecenderungan), dan tindakan yang saling mempengaruhi. Praktik sosial memiliki dua dimensi. Dimensi yang pertama adalah internalisasi segala sesuatu yang dialami dan diamati dari luar diri pelaku (agents). Dimensi kedua adalah pengungkapan dari segala sesuatu yang telah terinternalisasi dan menjadi bagian dari diri pelaku.
2.         Habitus
Habitus menurut Bourdieu merupakan sistem yang terdiri dari kecenderungan-kecenderungan yang berlangsung tetap (ajeg) didalam diri pelaku sepanjang hidupnya, yang berfungsi sebagai basis pembentuk praktik yang terstruktur dan secara objektif disatukan. Dalam arti ini, habitus adalah nilai-nilai sosial yang dihayati oleh manusia, dan tercipta melalui proses sosialisasi nilai-nilai yang berlangsung lama, sehingga mengendap menjadi cara berpikir dan pola perilaku yang menetap di dalam diri manusia tersebut. Habitus seseorang begitu kuat, sampai mempengaruhi tubuh fisiknya. Habitus yang sudah begitu kuat tertanam serta mengendap menjadi perilaku fisik disebutnya sebagai Hexis. Skema habitus dan bentuk-bentuk klasifikasi primer bergerak dari bawah atas kesadaran dan bahasa, melampaui jangkauan pengamatan introspektif atau kontrol oleh keinginan pelaku. Bourdieu merumuskan konsep habitus sebagai analisis sosiologis dan filsafati atas perilaku manusia.
3.         Kapital atau Modal
Kapital adalah modal yang memungkinkan seseorang untuk mendapatkan kesempatan-kesempatan di dalam hidup. Ada banyak jenis kapital, seperti kapital intelektual (pendidikan), kapital ekonomi (uang), dan kapital budaya (latar belakang dan jaringan). Kapital bisa diperoleh, jika orang memiliki habitus yang tepat dalam hidupnya. Definisi modal bagi Bourdieu sangatlah luas dan mencakup barang-barang material (yang dapat memiliki nilai simbolis), juga yang tak tersentuh, tapi secara budaya merupakan atribut yang signifikan, semacam prestise, status, otoritas, dan legitimasi (yang diacu sebagai modal simbolis), sejalan dengan modal budaya (yang didefinisikan sebagai pengetahuan atau juga selera yang bernilai secara budaya dan pola-pola konsumsi). Istilah tersebut diperluas definisinya menjadi ‘semua barang, baik material maupun simbolis, tanpa pembedaan, yang menampilkan dirinya sebagai sesuatu yang langka dan berharga untuk dikejar dan dicari didalam suatu formasi sosial tertentu’.  
4.         Arena
Arena (champ) dalam banyak hal didefinisikan oleh suatu sistem hubungan-hubungan objektif kekuasaan antara posisi-posisi sosial yang berhubungan dan suatu sistem hubungan-hubungan objektif diantara titik-titik simbolis. Konsep arena memang diartikan sebagai suatu arena kekuatan-kekuatan. Konsep ini dibutuhkan untuk menempatkan arena sebagai sesuatu yang dinamis suatu arena yang didalamnya bermacam-macam potensi hadir. Arena adalah ruang khusus yang ada di dalam masyarakat. Ada beragam arena, seperti arena pendidikan, arena bisnis, arena seniman, dan arena politik. Jika orang ingin berhasil di suatu arena, maka ia perlu untuk mempunyai habitus dan kapital yang tepat.
Dengan demikian, konsep habitus, kapital, dan arena terkait amat erat. Untuk bisa berhasil dalam salah satu arena dalam hidup, orang perlu mempunyai habitus dan kapital yang tepat untuk arena itu. Jika seseorang  tidak memiliki habitus dan kapital yang tepat untuk satu arena, maka  kemungkinan besar  akan gagal dalam arena yang telah dipilihnya tersebut.
5.         Persaingan dan Strategi (Competition and strategy)
Suatu arena selalu menjadi ajang konflik antar individu atau antar kelompok yang berusaha mempertahankan atau mengubah distribusi bentuk-bentuk kapital tertentu. Pelaku-pelaku yang berpartisipasi dalam persaingan ini memiliki visi yang berbeda-beda. Sebagaian dari mereka yang berada dalam posisi dominan berusaha melestarikan status quo, sebagian lainnya yang terdominasi berusaha mengubah distribusi kapital dan posisi-posisi didalamnya sehingga terjadi mobilitas sosial. Pertarungan tidak bisa dilepaskan dari strategi. Dalam konsep Bourdieu strategi adalah sesuatu yang mengarahkan tindakan, tetapi bukanlah semata-mata hasil dari suatu perencanaan yang sadar dan terkontrol oleh si pelaku atau sebaliknya ia semata-mata hasil dari sesuatu yang mekanis diluar kesadaran individu atau kelompok.
Strategi menurut Bourdieu dapat digolongkan dalam beberapa jenis: (1) Strategi investasi biologis, yang dalam kelompok ini dapat dibedakan dua hal: strategi kesuburan (menggunakan pembatasan jumlah keturunan untuk menjamin transmisi modal) dan pencegahan (ditujukan untuk mempertahankan keturunan dan pemeliharaan fisik). (2) Strategi suksesif, yaitu strategi ini bermaksud menjamin pengalihan harta warisan antar generasi dengan pemborosan seminimal mungkin. (3) Strategi edukatif, yaitu suatu kelompok sosial bermaksud memproduksi pelaku-pelaku sosial baru yang layak dan mampu menerima warisan dari kelompok-kelompok sosial tersebut. (4) Strategi investasi ekonomi, yaitu strategi yang berorientasi pada pelestarian atau peningkatan modal ekonomi didalam berbagai ruang sosial. (5) Strategi investasi simbolis, yaitu strategi terkait dengan semua tindakan yang melestarikan dan meningkatkan modal pengakuan, legitimasi, dan kehormatan.
6.         Dalam Praktik Penelitian
Salah satu ajaran Bourdieu dalam hubungannya dengan praktik penelitian adalah penekanan pada pentingnya penelitian lapangan. Arena dan habitus bukanlah konsep yang dapat diterapkan hanya dengan duduk dibelakang meja. Keduanya merupakan konsep yang baru bermakna jika digunakan dilapangan. Dalam praktik penelitian, Bourdieu mengajarkan tiga langkah yang saling terkait dalam upaya mengenali dan menganalisis arena. Pertama, harus menganalisis posisi arena dalam hubungannya dengan arena kekuasaan. Kedua, harus menetapkan struktur objektif hubungan-hubungan antara posisi yang dikuasai oleh pelaku dan institusi yang berbeda didalam arena ini. Ketiga, harus menganalisis habitus para pelaku, sistem-sistem kecenderungan yang berbeda yang diperolehnya melalui internalisasi sesuatu yang ditentukan menurut kondisi sosial-ekonomi, yang berada dalam satu jalur yang didefinisikan didalam arena yang dianggap memberikan kesempatan bagi pelaku untuk mengaktualisasikannya.
7.         Pendidikan (education)
Pemikiran dan pandangan Bourdieu tentang pendidikan adalah suatu proses penciptaan ulang dominasi sosial yang telah ada sebelumnya. Pendidikan menutup pintu bagi orang-orang yang tidak memiliki habitus maupun kapital sebagai seorang pembelajar. Dan orang-orang yang ditolak ini adalah umumnya kelas ekonomi bawah yang memang tidak memiliki habitus maupun kapital untuk belajar secara akademik. Dengan demikian, pendidikan, pada hakekatnya, bersifat diskriminatif. Secara tidak langsung, pendidikan menindas orang-orang yang memang sejak awal sudah “kalah”, baik secara ekonomi, maupun secara habitus belajar. Secara mekanis, nyaris otomatis, pendidikan melestarikan kesenjangan sosial antara si kaya dan si miskin, antara si “pintar” (memiliki habitus dan kapital intelektual), dan si “bodoh” (tidak memiliki habitus maupun kapital intelektual).
Tentang pendidikan moral, Bourdieu berpendapat, bahwa yang terpenting bukanlah apa yang ternyatakan (eksplisit) dalam ajaran maupun aturan moral, melainkan apa yang tak ternyatakan (implisti), yang hanya dapat dilihat dalam perilaku sehari-hari. Singkat kata, baginya, dalam konteks pendidikan moral, yang terpenting adalah teladan, dan bukan perintah moral yang keluar dari mulut. Sehingga sarana pengajaran moral yang paling baik bukanlah ajaran moralitas agama yang penuh dengan pengharusan dan larangan, melainkan melalui sastra. Di dalam karya sastra, orang secara bebas memilih, tokoh apa yang menjadi favoritnya. Tokoh tersebut pasti memiliki kualitas kepribadian yang khas, sehingga orang menyukainya. Ada kebebasan di dalam memilih teladan. Sementara, dalam ajaran-ajaran agama, yang banyak terdengar adalah keharusan dan larangan. Di dalam pola semacam itu, tidak ada kebebasan. Yang ada adalah paksaan, atau dominasi. Dan dimana terdapat dominasi, selalu ada perlawanan. Itulah sebabnya, mengapa ajaran agama tidak bisa menjadi alat yang efektif untuk melakukan pendidikan moral.
8.         Pembedaan (distinction)
Bourdieu juga merumuskan konsep pembedaan (distinction). Secara singkat, pembedaan berarti tindakan membedakan diri yang dilakukan oleh seseorang untuk menunjukkan kelasnya dalam masyarakat. Biasanya, pembedaan dilakukan oleh kelas menengah ekonomi ke atas untuk menunjukkan statusnya yang khas dibandingkan dengan kelas ekonomi yang lebih rendah.
Dalam konteks pendidikan, lulusan perguruan tinggi luar negeri biasanya melakukan pembedaan terhadap lulusan perguruan tinggi dalam negeri. Mereka merasa “berbeda”, jika mampu membaca, menulis, ataupun berbicara dalam bahasa asing, sesuatu yang tidak dimiliki oleh mereka yang lulus dari perguruan tinggi dalam negerti. Inilah permainan distinction dalam konteks pendidikan.
Kelas ekonomi menengah ke bawah juga melakukan hal yang sama. Namun, bagi Bourdieu, tindakan tersebut bukanlah merupakan pembedaan, melainkan suatu bentuk perlawanan. Jadi, jika datang dari atas, pengambilan posisi untuk mendapatkan pengakuan disebut sebagai distinction. Dan jika datang dari kelas ekonomi menengah ke bawah, misalnya dengan menggunakan pakaian-pakaian anti kemapanan, atau justru tertarik membaca buku dalam bahasa-bahasa Sanksekerta kuno, maka itu disebut sebagai perlawanan (resistance).
9.         Status Bahasa
Bourdieu juga banyak menulis soal bahasa. Baginya, bahasa bukanlah alat komunikasi yang bersifat netral, tanpa kepentingan. Sebaliknya, bagi Bourdieu, bahasa adalah simbol kekuasaan. Di dalam bahasa tersembunyi dominasi simbolik serta struktur kekuasaan yang ada di dalam masyarakat, juga masyarakat dunia internasional. Tata bahasa yang digunakan oleh seseorang mencerminkan kelas sosial ekonominya di masyarakat. Dalam arti ini, sebagai sebuah simbol, bahasa adalah suatu “teks” yang perlu untuk terus dipahami secara kritis.
Ilmu pengetahuan modern memiliki cita-cita untuk menjadi jalan utama manusia sampai pada kebenaran. Keyakinan para ilmuwan modern bahwa bahasa ilmu pengetahuan adalah bahasa obyektif yang terbebaskan dari prasangka maupun kekuasaan itu sendiri dan ilmu pengetahuan merupakan jalan netral dan bebas hambatan untuk sampai pada kebenaran. Namun bagi Bourdieu, para ilmuwan secara sadar menyembunyikan kepentingan-kepentingan dan pengaruh kekuasaan yang terkandung dalam bahasa itu. Ini berarti mereka melakukan penipuan pada masyarakat. Jika tidak sadar akan hal ini, maka mereka menjadi boneka dari “kekuasaan simbolik” yang tengah berlangsung di masyarakat. Orang yang berasal dari tingkat pendidikan tertentu memilih menggunakan bahasa yang lebih formal, daripada mereka yang lebih rendah tingkat pendidikannya. Di masyarakat-masyarakat tertentu, orang yang berasal dari kelas sosial yang lebih tinggi menggunakan bahasa yang berbeda dengan orang lainnya yang berasal dari kelas sosial yang lebih rendah.
11.       Dominasi Simbolik
 Dominasi simbolik adalah penindasan dengan menggunakan simbol-simbol. Penindasan ini tidak dirasakan sebagai penindasan, tetapi sebagai sesuatu yang secara normal perlu dilakukan. Artinya, penindasan tersebut telah mendapatkan persetujuan dari pihak yang ditindas itu sendiri. dalam konteks pemolisian internasional misalnya, Seorang Instruktur Asing yang otoriter di kelas, namun tidak mendapatkan perlawanan apapun dari muridnya, karena muridnya telah menyetujui “penindasan” yang dilakukan oleh gurunya. Atau seorang Tamu asing yang tidak mendapat perlakuan yang layak, walaupun telah dirugikan oleh tuan rumah (Negara Asing), karena secara tidak sadar, telah menerima statusnya sebagai yang tertindas oleh tuan rumah (di negara asing).
12.       Doxa
Puncak dari Mekanisme dominasi simbolik adalah pemikiran Bourdieu tentang doxa. Secara singkat, doxa adalah pandangan penguasa yang dianggap sebagai pandangan seluruh masyarakat. Masyarakat tidak lagi memiliki sikap kritis pada pandangan penguasa. Pandangan penguasa itu biasanya bersifat sloganistik, sederhana, populer, dan amat mudah dicerna oleh rakyat banyak, walaupun secara konseptual, pandangan tersebut mengandung banyak kesesatan. Doxa menunjukkan, bagaimana penguasa bisa meraih, mempertahankan, dan mengembangkan kekuasaannya dengan mempermainkan simbol yang berhasil memasuki pikiran yang dikuasai, sehingga mereka kehilangan sikap kritisnya pada penguasa. Pihak yang dikuasai melihat dirnya sama dengan penguasa. Mereka ditindas, tetapi tidak pernah merasa sungguh ditindas, karena mereka hidup dalam doxa.
Doxa juga berlaku di dalam ranah ilmu pengetahuan. Paradigma positivisme kontemporer (realitas dilihat sebagai sesuatu yang bisa diukur dan dihitung, seperti menghitung “uang belanjaan”) dan empirisme dogmatis (terjebak hanya pada apa yang dapat dilihat oleh panca indera) menjadi pandangan penguasa (komunitas ilmiah) yang dianggap sebagai pandangan seluruh ilmuwan (yang dikuasai). Banyak ilmuwan modern terjebak pada doxa penguasa di bidang penelitiannya. Mereka menerima begitu saja pandangan penguasa sebagai pandangannya. Mereka kehilangan sikap kritis. Pada akhirnya, mereka hanya mengabdi pada kepentingan penguasa, dan kehilangan sentuhan dengan kebutuhan manusia yang nyata di dunia.
Penutup
           Ketika mencoba memahami pemikiran Bourdieu perlu direnungkan bahwa ilmu pengetahuan sosial dan filsafat harus mampu mengangkat dan menganalisis berbagai situasi di masyarakat yang menciptakan ketidakadilan dan penindasan sosial yang disebutnya sebagai sosiologi reflektif dan sosiologi kritis. Dalam dunia internasional yang terus berubah sebagaimana dinamika perubahan sosial lainnya, Bourdieu berpendapat bahwa perubahan sosial bisa dilakukan, jika orang memiliki habitus, kapital, dan mampu menempatkan keduanya dalam konteks yang tepat di suatu arena. Prinsip ini berlaku untuk semua arena, mulai dari arena pendidikan, arena budaya, dan sebagainya.
Namun, itu semua belum cukup, karena perlu kemampuan menempatkan diri (positioning) secara tepat dalam arena politik yang terkait. Jaringan luas dan kepintaran akademik bisa menjadi bumerang yang menghancurkan karir politik, jika tidak bisa menempatkan diri secara tepat pada arena politik yang ada. Kemampuan menempatkan diri ini misalnya mampu berbicara dengan tema yang tepat, nada yang tepat, pada orang yang tepat, dan pada waktu yang tepat.

        

Book Review;
Buku karangan Edkins, Jenny, Vaughan-Williams, Nick, yang berjudul Teori-teori Kritis: Menantang Pandangan Utama Studi Politik Internasional, Editor: Tectona Radik.–Ed. 1, Cet. 1.–Yogyakarta:”, tebal xv, 539 hlm; 23 cm,  ISBN/ISSN; 979-2462-33-3, terbitan Pustaka Pelajar Group, cetak tahun 2012.
Share this Article